Oleh : Timbul Siregar
Dalam Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Menteri Ketenagakerjaan beberapa hari yang lalu, Komisi IX DPR mendorong Kemenaker untuk membentuk Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) terkait perlindungan dan jaminan sosial bagi pekerja dengan status kemitraan.
Permintaan Komisi IX DPR tersebut merupakan hal penting untuk segera ditindaklanjuti oleh Kementerian Ketenagakerjaan, mengingat hingga saat ini memang pekerja dengan status kemitraan belum terlindungi dalam bekerja. Lebih dari itu pekerja di luar hubungan kerja secara umum seperti pekerja informal dan pekerja kemitraan memang masih belum masuk radar Kementerian Ketenagakerjaan untuk dilindungi.
Amanat Pasal 1 angka 31 UU No. 13 Tahun 2003 (UU Ketenagakerjaan) dengan jelas menyatakan Kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman dan sehat.
Pasal 1 angka 31 UU Ketenagakerjaan dengan sangat jelas mengamanatkan Kesejahteraan pekerja/buruh pun ditujukan bagi pekerja di luar hubungan kerja (seperti pekerja informal dan pekerja kemitraan), yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, untuk mendukung produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman dan sehat.
Sebenarnya perlindungan pekerja kemitraan dan pekerja informal lainnya sudah ada yang diregulasikan yaitu kewajiban mengikuti program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm) yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan dalam PP no. 44 Tahun 2015 tentang JKK dan JKM, lalu diperkuat oleh Perpres no. 109 tahun 2013, dan Permenaker no. 5 Tahun 2021, namun seluruh ketentuan tersebut masih belum serius dijalankan Kementerian Ketenagakerjaan sehingga kepesertaan pekerja informal dan pekerja kemitraan di program JKK JKm masih rendah.